Catatan Perjalanan :
Sekali
Menginjak Gas, Delapan Negara Bagian Terlampaui
9.
Melewati Empat Puncak Bersalju
Rabu, 26 April
2000, baru sekitar jam 9:00 pagi saya meninggalkan kota Durango
terus melaju ke utara. Hari masih belum terlalu panas dan udara
cukup dingin. Tujuan saya hari itu adalah mencapai kota kecil
Breckenridge, di sebelah barat Denver. Jarak yang harus saya
tempuh sekitar 313 mil (sekitar 500 km). Rute ini melalui jalan
yang berkelok-kelok serta mendaki dan menuruni gunung. Praktis
saya harus lebih mengontrol kecepatan, mengingat di beberapa
bagian jalan harus melewati kondisi jalan yang agak sempit di
lereng-lereng gunung dan tanpa pagar pengaman.
Keputusan saya
untuk merubah rute saat di Flagstaff ternyata tidak salah.
Sekalipun saya tidak bisa melaju cepat, jalan pegunungan yang
saya lalui memberikan pemandangan alam yang sangat indah,
setidak-tidaknya belum penah saya saksikan langsung kecuali di
foto dan film. Memang benar, lebih bersuasana Amerika. Hampir
setengah perjalanan saya lalui melalui puncak-puncak gunung yang
waktu itu masih bersalju. Sehingga kami benar-benar menikmati
pemandangan yang didominasi oleh hutan pinus di seluas hamparan
salju di kiri-kanan jalan.
Belum satu jam
meninggalkan kota Durango, saya sudah mencapai puncak pass
Coalbank Pass yang berelevasi 3.243 m. Tiba di sini anak-anak
saya mengajak berhenti. Tentu saja ini adalah pemandangan dan
suasana alam khas Amerika yang belum pernah kami lihat
sebelumnya. Di New Orleans di mana kami tinggal yang letak
geografisnya berada di sisi selatan Amerika dan masih termasuk di
daerah beriklim subtropis, sekalipun musim dingin salju nyaris
tidak pernah datang. Karena itu anak-anak langsung saja berlari
menuju ke hamparan salju, benda yang selama ini hanya dikenal
secara abstrak. Saya biarkan mereka bermain dan berlari,
sementara waktu masih pagi.
Perjalanan lalu
menuruni puncak dan tiba di kota kecil Silverton. Silverton
adalah bekas kota tambang yang berada di kaki gunung-gunung
tinggi yang mengelilinginya. Sehingga memandang ke arah manapun
sepertinya hanya gunung yang terlihat. Kota ini terletak di
ketinggian sekitar 2.753 m di atas permukaan laut dan hanya
dihuni oleh sekitar 700 orang. Sepi, tenang, dingin dan bersih,
itulah kesan saya saat mampir di kota ini.
Sebenarnya ada
obyek wisata menarik di kota ini yang disebut Old Hundred Gold
Mine. Menurut informasi, dengan berwisata ke bekas tambang emas
ini pengunjung akan masuk ke tambang bawah tanah menggunakan
kereta tambang elektrik, menuruni sumuran tambang (shaft) serta
terowongan-terowongan tambang (tunnel), selain dipamerkan juga
tentang berbagai informasi geologi, sejarah serta peralatan dan
metode-metode penambangan dari jaman dulu hingga yang modern.
Sayangnya wisata
tambang ini hanya dibuka antara bulan Mei hingga Oktober yaitu
saat musim Semi dan Panas, sehingga saat kami di sana wisata
tambang belum dibuka. Di luar bulan-bulan itu lokasi tambang itu
masih banyak terganggu salju dan sangat dingin.
Sempat terpikir
oleh saya, di lokasi yang terpencil jauh dari mana-mana seperti
itu lalu siapa yang akan berkunjung ke sana? Jangankan membayar
tiket masuk yang US$ 12.95, gratis pun rasanya jarang yang akan
mengunjunginya. Ternyata dugaan saya salah, kabarnya lokasi itu
di musim panas cukup menjadi pilihan wisatawan untuk dikunjungi.
Karena tempat ini sangat cocok buat tempat peristirahatan yang
selain obyek wisata tambang juga banyak pilihan wisata gunung.
Lagi-lagi, ya seperti yang saya singgung sebelumnya, bukan
sekedar masuk terowongan dan melihat bekas tambang yang akan
mereka peroleh di sana. Melainkan banyak informasi dan
pengetahuan baru yang dikemas sedemikian rupa menjadi paket
wisata.
Sekitar setengah
jam perjalanan mendaki dari kota Silverton, saya sudah mencapai
puncak yang kedua Red Mountain Pass yang berelevasi 3.358 m.
Mirip dengan puncak yang saya lewati sebelumnya, hamparan salju
berada di sekeliling jalan yang saya lalui dengan hutan pinus
berada di beberapa bagiannya. Begitu sampai di lokasi yang agak
lebar, kamipun berhenti. Lalu anak-anak kembali melampiaskan ke-gumun-annya
(rasa kagumnya) dapat berada di tempat yang dimana-mana terhampar
salju. Sungguh beruntung mereka, mengalami masa kecil yang
teman-teman sebaya di kampungnya di Jawa sana belum tentu akan
bisa mengalaminya.
Kami memang
beruntung saat itu, karena rute itu biasanya ditutup untuk lalu
lintas umum jika musim dingin tiba karena sangat berbahaya akibat
tertutup salju. Saat itu ternyata sudah dibuka karena sudah bisa
dilalui kendaraan, meskipun lalu lintas masih tergolong sangat
sepi.
***
Perjalanan
kemudian kembali menuruni gunung, lalu melalui jalan yang relatif
mendatar dan melewati beberapa kota kecil. Setelah itu saya
sempat mampir ke Black Canyon of the Gunnison National Park.
Bentang alam berupa jurang atau ngarai yang cukup curam, meskipun
tidak sebesar Grand Canyon. Ini adalah gugusan batuan dasar
tertua yang terpotong oleh sungai sedalam sekitar 335 m,
membentang sepanjang 19 km, dengan lebar bagian atasnya sekitar
430 m dan bagian bawahnya tepat di sungai sekitar 12 m. Sesuai
namanya, Black Canyon, karena komposisi batuannya didominasi oleh
batuan schist, granit dan batuan-batuan Precambrium
lainnya yang berwarna kehitam-hitaman.
Dari tempat ini
saya melanjutkan perjalanan ke arah timur menyusuri pinggir danau
Blue Mesa yang membentang sepanjang 36 km. Di pinggir danau ini
saya sempat beristirahat sebentar sambil memperhatikan
orang-orang yang sedang memancing dengan pemandangan latar
belakang tampak gunung bersalju yang berwarna putih menyilaukan.
Sebelum mencapai
perempatan di kota kecil Poncha Springs yang selanjutnya saya
akan berbelok ke arah utara, saya melalui puncak pass yang
ketiga, yaitu Monarch Pass yang berelevasi sekitar 3.448 m.
Meskipun ini puncak tertinggi diantara 3 puncak yang sudah saya
lalui, ternyata di sini tidak seluruh areanya tertutupi salju.
Saya tidak tahu apa sebabnya, tetapi di puncak ini masih bisa
dijumpai bagian-bagian tanah yang terbuka. Sehingga pemandangan
menjadi tampak seperti biasa.
Saya hanya
menduga-duga, barangkali karena di daerah ini sudah banyak
dilalui orang yang melakukan kegiatan sehingga relatif lebih
panas suhu udaranya. Lalu lintas di rute ini memang relatif lebih
ramai. Berbeda dengan kedua puncak sebelumnya yang masih sangat
sepi dilalui kendaraan.
Perjalanan
selanjutnya menuju Breckenridge melalui jalan mendatar yang agak
membosankan, hingga akhirnya mencapai puncak pass keempat
sesaat menjelang tiba di Breckenridge, yaitu Hoosier Pass yang
berelevasi 3.518 m. Seperti halnya puncak ketiga yang saya
lewati, di puncak keempat ini juga tidak seluruh areanya tertutup
salju. Memang daerah ini termasuk daerah sibuk, karena di sekitar
sinilah banyak dikembangkan ski resort, sehingga rute
jalan yang melalui area ini cukup padat dibandingkan dengan
rute-rute sebelumnya yang saya lalui.
Tidak jauh
setelah menuruni puncak keempat ini saya tiba di kota kecil
Breckenridge, sekitar jam 6:00 sore. Breckenridge adalah kota
kecil yang dikembangkan menjadi ski resort dan menjadi
salah satu tujuan bagi orang-orang yang akan berolahraga di es.
Kota ini terletak di ketinggian sekitar 2.906 m di atas permukaan
air laut, berpenduduk hanya sekitar 1.300 jiwa dan berlokasi pada
87 mil (sekitar 140 km) di sebelah barat kota Denver. Di kota
inilah kami merencanakan untuk tinggal selama 3 malam.-
(Bersambung)
Yusuf Iskandar
Anak-anak
bermain salju di puncak Coolbank Pass
Ketemu
salju di jalur pegunungan yang sepi melintasi puncak Coolbank
Pass
Melongok
ke dasar Black Canyon of the Gunnison National Park